Wednesday, January 4, 2012

A Break Up

Salah satu hal yang pengen banget gue lakuin di tahun 2012 ini adalah lebih aktif menulis. Tahun 2011 bukan tahun yang produktif buat gue dalam hal menulis. So, di tahun 2012 ini gue mau banyak menulis. Dan kemungkinan besar, dengan Bahasa Indonesia. Hemh, campur-campur deh ya? :D

Okay, ini tulisan pertama gue di tahun 2012. Mungkin bukan tema yang bagus untuk mengawali awal tahun dengan mengungkit masa lalu, tapi niat gue adalah mau berbagi cerita atau mungkin membuat sebuah pengakuan yang syukur-syukur ada hikmahnya buat kalian. Briefly, it's about a break up. Kalo lo liat twit gue dari awal November sampai December kemarin emo banget alis galau, mungkin ada yang udah bisa nebak gue baru putus cinta. Yes, I just went through a break up. And oh my goodness, it hurt like hell.

Ga ada yang bilang perpisahan itu mudah dan ga sakit. Kecuali bagi mereka yang emang mengharapkan perpisahan kali ya. But trust me, no good-byes are easy. Seperti gue, gue baru aja pisah sama.. —errr what should I label him— sama cowo yang udah merajut dan menjalin kasih selama 17 bulan sama gue. Sadly, he's not my boyfriend. He's merely my date.

Saat baru pindah ke Singapura dan menemukan fenomena 'dating', it was such a culture shock for me. Dating bukan official relationship tapi melakukan hal yang sama seperti orang pacaran, katakanlah gitu. Bisa dibilang stage sebelum melangkah ke relationship, tapi beda smaa tahap 'PDKT'. Iya, itu memang tahap pengenalan lebih jauh terhadap pasangan kita. Tapi 'dating' lebih intense dari PDKT. Di saat dating, you can kiss your partner. You can hold their hands and act like real couple.

So, that's what I had been doing with him —a 27 year old Singaporean guy— for almost 17 months. Sebenernya untuk tahap 'dating', 17 bulan itu lama banget. Normally, dating only lasts 4 months, that's at its longest. That's why I can tell you guys that this story is sooo complicated. The issue here is actually we are not officially attached as a couple yet everything has gone too far.. Far from our expectations. The guy isn't ready for a commitment and had already told me that in the first place. That's the condition, dia ga mau berkomitmen sampe dia berumur 30 tahun dengan alasannya sendiri. Gue bisa terima itu. I was fine about it because I think that's his principle and I should respect it.

Seiring dengan condition yg dia kasih ke gue —hubungan tanpa komitmen—, gue juga kasih dia satu syarat. Syarat itu begini "I don't need a label or status between us. As long as we're dating exclusive, I'm fine". Ya, gue mau gue dan dia dating exclusive. Apa itu dating exclusive? Itu artinya dia cuma bisa dating sama gue, as in no other girls but me. Gue ga mau ada cewe lain diantara gue sama dia. Although we're not an item, we're exclusive.

Kalo dipikir-pikir, sebenernya prinsip kita saling bertabrakan. Dia ga mau berkomitmen pasti atas dasar kebebasan dong? Dan gue sebenernya ga suka tuh ketidak-jelasan. Gue ga mau aja dia dating sama gue, jalan tapi ada cewe lain selain gue yang dia ajak jalan juga. There's NO WAY I give anyone a chance to two-time me! Makanya dengan jelas dari awal gue udah bilang gitu ke dia. And he agreed about it! Singkatnya, kita jalan terus. Setiap perubahan sikap dia, itu sangat berarti buat gue. Dari ga pernah bilang 'I miss you' sampai akhirnya dia bilang itu ke gue di bulan ke dua. Iya, baru di bulan ke dua dia mesranya sama gue :(. Sebelumnya ya cuma nonton, jalan, telvon, udah. Nah di bulan ke-tiga, pas waktu Hari Raya Idul Fitri, dia udah bawa gue ke keluarga. Lebaran bareng sama keluarga besarnya. Sebenernya ini juga janggal buat tahap 'dating', karena basically kalo partner udah diajak ketemu keluarga, bearti hubungan beranjak ke satu tahap lebih serius! Tapi gue lagitu mikir prositif aja, mungkin dia ga mau ngebiarin gue ngerayain Lebaran sendirian di negeri orang. Jadilah gue dibawa ke keluarga besarnya.

Bulan ke 5 udah mulai ada percikan api, kayanya dia bosen sama gue. Dia udah mulai 'nakal' sama cewe-cewe lain. Akhirnya saat itu, I gave up. Gue mundur dari dia. Eeeeh emang dasar ya cowo aneh kadang, dia malah nangis depan gue dan ngejar gue lagi :|. Ya karena gue sebenernya udah sayang sama dia, yaudah gue balik lagi sama dia. But apparently, although he cried over me begging me to come back, it didn't change a thing. We were still dating and in fact, things were not getting any better. Di bulan Februari, pas banget valentine, I found out something bad regarding his ex. Bayangin, pas valentine loh. Emang ga ada perayaan berarti saat itu, tapi gue sama dia jalan. Singkatnya, gue pulang berlinang air mata. Ternyata gue berharap terlalu lebih dari dia. He wasn't over his ex yet. Since then, hubungan gue sangat renggang. Dan ternyata itu ngasih kesempatan dia untuk ketemu cewe baru.

Di akhir Februari, ga ada angin ga ada ujan, tiba-tiba dia pasang display picture facebooknya dengan seorang cewe waktu mereka ke Universal Studio Singapore bareng, seminggu setelah hari valentine. MY GOODNESS! so yeah, he cheated on me. Yang jadi masalah besar saat itu sebenernya bukan cuma selingkuh sama ni cewe. Masalah lain juga karena cewe ini jauh lebih berutung dari gue. Selama berbulan-bulan dating sama dia, ga pernah sekalipun dia 'publish' gue publicly. Apalagi di internet. Kita ga pernah foto bareng terus di upload di fb, bahkan nama gue ga pernah sekalipun disebut di fb sama dia. Kenapa FB begitu penting? Of course, karena tanpa disadari, FB adalah tempat dimana lo akan mendapatkan pengakuan secara publik, by friends or even strangers. Kalo lo diumpetin di FB, orang-orang ga tau kalo pasangan lo punya pacar dan kemungkinan dia untuk menjalin 'hal-hal' lain itu sangat besar! Ga perlu disebut nama lo, seengganya untuk mengakui 'you are currently attached' di FB, itu udah cukup.

Okay balik ke cerita. Setelah gue nemuin kejadian itu, kita pisah tanpa kata-kata. I was back to being single again. Hidup gue normal banget. Gue sibukin diri dengan sekolah, kerja, travelling. Briefly, I managed to get over him. Eh ga ada angin ga ada ujan lagi, tau-tau dia balik menghubungi gue lagi dengan alasan mau menuhin janjinya nraktir gue pas ulang tahun! Ya Allah, WHY?! Gue lagitu dilemma. Satu sisi, gue tau dia udah nyakitin gue. Disisi lain, I can't lie that I enjoyed his company. Pengen lagi balik ke dia, mengulang semua cerita. Ya maklumlah ya, gue Taurus. Cukup setia, pemaaf dan melankolis juga (?).

Ya intinya.. Gue balikan lagi sama dia, tapi tetep dating :|. Iiih gue tau kok gue bodoh tapi gimana dong, masalah hati susah tau. Put yourself in my shoes deh, baru tau gimana rasanya. Udah ni. Semenjak itu kita sama-sama lagi. Bahkan sempet LDR selama hampir 2 bulan. Tapi justr pas LDR, semua baik-baik aja. Setelah investigasi sana sini, selama LDR, dia jadi anak yang sangaaat baik. Ga macem-macem. Aah making sayang deh jadinya!! (?). Tapi tetep ya, hubungan gue itu complicated and full of drama. Ujung-ujungnya, gue minta 'mundur' lagi sama da. Abis aga capek juga dengan segala ketidak-jelasan yang ada. Gue udah kasih yang terbaik ke dia (katakanlah gitu), selalu ada buat dia, ga pernah sekalipun gue minta komitmen sama dia, tapi kok gue ngerasa hubungan ini cuma tentang "dia". It was always about 'HIM'. What 'he' wants, what 'he' needs. His ego drives our partnership. Itu yang ngebuat gue cape. Jadi kaya understanding without being understood, giving without getting something in return, and many other things which led to nothingness. So pointless.

Sekali lagi, gue ga butuh label. I don't need label, really. All I need is just wake up in the morning and feel the same way every day. With no worries about our partnership. Tapi itu ga bisa gue dapet. Perhaps yes, I have high expectations on him with the fact that he wouldn't be able to meet my expectations. Tapi sebenernya bisa kok, only if he could put his ego aside. Just like what I did to him?. And at the point of time, I felt like I wasn't being fair to myself. As in, by the fact that he wasn't that serious taking this partnership between us while it was reversed to me. I took it seriously. Dan rasanya ga adil buat gue karena dengan gitu, I didn't give a chance to any guys out there to get to know me. Who knows there's someone who can give me a healthier relationship? Itu ego gue yang berbicara. Makanya saat itu gue minta mundur. Dan dia mengakui kalo dia salah selalu egois dan ga pernah mikirin perasaan gue.

Seminggu setelah itu, dia ke Kuala Lumpur. Setelah balik ke Sg, ga tau ini fate atau gimana, tau-tau sepupunya ngundang gue ke ulang tahunnya. Jelas sepupunya ga tau gue udah so called "putus" sama dia. Karena udah deket banget, akhirnya gue dateng dan ketemu dia lagi :|. Pas pulang-pulang, dia nangis lagi ke gueeee!!!!! :'''( dan ya Tuhanku, keajaiban pun datang. Setelah 15 bulan bersama, akhirnya untuk pertama kalinya dia bilang "I LOVE YOU AMALIA". (He calls me Amalia, fyi). YAH NANGIS TERHARU JUGA DISITU. Nangis terharu karena akhirnya setelah semua drama dan perjalanan yang cukup melelahkan, dia mengakui dia cinta sama gue :'').

Sebenernya, love was something that we always tried to avoid, ignore and deny. Karena basically, kita cuma dating. Ga boleh ada unsur cinta di dalam 'perdatingan' apa lagi antara gue sama dia, because we were afraid it will lead us to a serious relationship, which is something he always tries to avoid. Akhirnya setelah malam itu, gue balik lagi sama dia. Tapi tetep datiing. :''''(

Ya walaupun tetep dating, tapi hubungan beranjak semakin membaik. Jadi lebih mesra. Dan apa ya, seengganya I was so convinced about his feeling. Ngerasa udah semakin yakin aja kalo ternyata, kita bertahan emang karena 'cinta'. Cuma aja kita sungkan dan enggan mengakui itu.

But.. hemh.. somehow, bad thing was just bound to happen. Mungkin yang orang omongin benar, everything is meant to be broken. For no apparent reason, everything fell apart. Scattered. All I can remember, he seemed to be in a big dilemma. Mungkin dia fikir, hubungan gue dan dia semakin kuat tapi dia tetap ga bisa merubah keadaan. Dia tetap harus bertahan dengan prinsipnya untuk ga berkomitmen sampai dia berumur 30 tahun. His friend told me that he loves me, (or maybe I should apply past-tense here, he loved me) but he couldn't let me go. He still needed me by his side. Yet he was still fully aware that he couldn't change a thing to be better, which is unfair on my side.

Jadilah dia pergi meninggalkan gue lagi, tanpa ada yang jelas. Kalo kata Adele, "you left with no good bye not a single word was said". Sebenernya there was a trigger. Lagitu gue pergi sama temen gue, cowok ke Orchard terus ke Dhobby Ghaut. He's just a friend. He's my ex colleague actually. Tapi ya pure temen. Terus dia telfon, asking my whereabouts. Pas tau gue sama cowo, tiba-tiba suara dia berubah dan marah. Pas sampe rumah, dia gue telvon dan ga angkat telfonnya. Berkali-kali. Until finally I gave up. I gave up chasing him.

Gue disitu akhirnya mengambil keputusan untuk ga ngehubungin dia lagi sampai dia menghubungi gue duluan. Dan kenyataannya, sampai detik ini, dia ga ngehubungin gue lagi. So that's it. Maybe this is the end of the story between me and him.

Am I selfish? Mungkin iya. Karena kalo diliat-liat, dia selalu kejar gue pas gue menyerah dan mundur dari dia. Tapi gue ga bisa ngelakuin hal yang dia lakuin karena satu alasan, gue capek. Everything seems to be so unfair to me. Kalo alasan dia ga ngangkat telfon karena dia marah gue jalan sama cowo lain yang sebenernya temen gue doang, he's NOT entitled to do that. In the first place, he himself who's reluctant to commit in me for a reason, dia mau bebas. Dan ini konsekuensi dari keputusannya ga berkomitmen sama gue dengan asas kebebasan. Gue sebenernya berhak jalan sama siapa aja, toh sebenernya status gue single. Dan sebenernya, dia ga berhak begini ke gue. Karena beberapa kali dia jalan sama cewe lain, dan jelas2 publish itu di facebook, gue selalu diam dan mempermasalahkan. Karena satu alasan, I respect his principle. Dan kalo gue nanya, gue salah. Karena kan gue tau dia bukan pacar gue, I have no rights to be jealous nor control him. Lagian gue orangnya simple, sebatas jalan sama cewe lain kalo emang pure temen, silahkan. Asal bilang ke gue dan jujur, gue okay. Kok sekarang gue jalan sama temen gue, dan gue jujur sama dia, dia marah? Dan dia ga mau berkomitmen sama gue, kok dia jealous?

Semua berakhir ngegantung. Dia pergi gitu aja tanpa ninggalin kepastian. Pengen rasanya bikin semua jelas tapi kalo dipikir lagi, ini semua terlalu ga adil buat gue. Di saat gue pergi dan dia ngejar gue, gue selalu disitu. Memaafkan. Buang semua ego gue, ngelupain kesalahan dia. Tapi kenapa susah banget buat dia untuk mengesampingkan egonya? Kenapa gue yang harus kejar dia mengemis demi sebuah kepastian padahal jelas-jelas dia yang punya niat untuk ninggalin gue? Gue udah ngelakuin dan ngasih yang terbaik ke dia tapi kenapa gue yang dibuang gitu aja? Gue yang disakitin kenapa harus gue yang berjuang demi diri gue sendiri karena ditinggal tanpa kepastian?

Dari awal gue harus berjuang sendiri, untuk seengganya ga break-apart. Untuk ga hancur. Untuk mengertia dia, untuk memaafkan dan untuk melupakan kesalahan dia. Dan gue udah ngerasa berjuang. Gue udah ngerasa menarik dia untuk lebih dekat ke gue, mendorong dia untuk yakin sama perasaannya sendiri dan kalo ternyata dia ga gerak, mungkin gue harus berhenti. Dia tetap diam karena dia ga ada kemauan untuk bergerak. Dan mungkin, dia udah mencapai limit diirinya sendiri.

Bukan sekali dua kali dia begini. Datang pergi sesuka hatinya. Dia udah dewasa. Dia udah tau apa yang harus dia lakukan, mana yang salah dan benar. Gue ga mau biasain dirinya untuk datang dan pergi sesuka hatinya. Dilihat dari cara dia memperlakukan gue, dia tahu gue lemah sama dia. Dia ngegampangin gue. Dan dia terus menerus berbuat seperti itu, dia terbiasa kaya gitu karena tanpa disadari, I allow him to do so! Gue yang ngebiarin dia berbuat itu ke gue. I gave him a chance to hurt me. Coba kalo dari awal gue bisa keras sama dia, ga terlalu lemah untuk selalu mengalah dan membiarkan diri gue sendiri tersiksa, he will never go easy on me.

He knows I'm too weak and he takes advantages of it. He thinks I'll always be there and forgive him for all his mistakes. But then, he cant be committed in me. He wanna be free but won't let me be free. Isn't that too selfish? Since the very start, it's always about HIM. What he wants. What he needs. He handles the steer. Kalo gue yang mau pergi, dia kejar gue lagi. Dia tau gue lemah. Akhirnya balik lagi. But when he feels like leaving me, nothing stops him.

Rasanya I've had enough. Biarpun kadang rasa kangen itu masih ada, tapi kok mikir, when will I get true happiness? Sincere love? Kalo gue terus kasih kesempatan ke dia, I'm not being fair to myself because there may be someone else who's better out there. He had decided to leave the boat. If he wants to take the boat again, he has to make effort. He has missed the boat, he has to queue up.

Emang ga segampang itu nerima kenyataan, apalagi yang pahit. Berminggu-minggu gue dihantui pertanyaan-pertanyaan kaya 'when did I go wrong? Why did you leave me? Why is it so unfair? Do I deserve this?'. Tapi ternyata, ga semua hal harus dimengerti. Seperti yang teman gue kasih tau ke gue;

"Sometimes, you don't need to understand everything but just to accept it".

Bener ya? Ada hal-hal yang ga bisa dijawab sekarang, tapi nanti disaat waktu sudah menjatuhkan eksekusinya. Seiring berjalannya waktu, time will reveal it. Mungkin kita justru akan mengerti semuanya disaat kita udah sama orang yang lebih baik lagi.

Dan hal yang tersulit adalah melupakan semua memori dan memaafkan dia. Itu masih jadi PR besar buat gue. Apalagi untuk melupakan semuanya. Tapi hal yang gue selalu berusaha lakukan adalah, untuk ga nyimpen dendam sama dia. Tuhan Maha Adil. What goes around, comes around.

Kalo mau bikin dia nyesel atau sadar, itu semua balik ke diri dia sendiri. It's something beyond our controls. Ga bisa dipaksain. But what I believe is, we have taken our part. So, whether sooner or later, he will take his part too. Maybe it takes someone new to make him realise that being dumped by someone we love hurts like hell. Tapi mungkin itu jalannya. The table will turn someday. Believe, God does it righteously and if He's kind enough, He'll let us watch.

He's something over my control, nothing I can do about it. But I can always control myself. Now, all I can do is just to empower myself to be twice or thrice stronger. Pasti ada hikmah yang bisa gue ambil. Gue sayang sama dia, masih sayang. Gue masih susah lupain dia. But I think I need a break. This is the time when I'm out of the unhealthy relationship and perhaps, along the way, I'll encounter someone who can give me a healthier relationship.

Biarpun sulit, gue harus memaksakan diri gue untuk bisa bilang "I've had enough. I gave you all and there isn't no more". Jangan bertahan untuk sesuatu yang ga sehat. Mencintai bukan sebatas menggenggam, tapi juga melepaskan. Mencintai itu bentuk keseimbangan dari memiliki dan merekalan, menggenggam dan melepaskan, memulai dan menghentikan.

Kadang merelekan dia yang herharap untuk pergi adalah bentuk dari cinta. Ketidak-egoisan kita untuk memaksakan cinta itu sendiri adalah bentuk termurni dari cinta. Apalagi yang bisa kita berikan selain cinta itu sendiri ke orang yang kita cintai? Bedanya, cinta itu kita berikan dalam bentuk yang berbeda. Mensyukuri dia yang kita cintai pernah bersama kita, adalah bentuk terakhir dari cinta. Bahwa setidaknya kita pernah bahagia bersama orang yang kita cintai dan mencintai kita.

Love is all around. As we're still young, have fun. Keep on walking. Until the time when we've found our life-time partner, we are still naïve, so never regret anything that once made you smile. As basically love is easy, we just have to go easy on love.

And for our heart, time heals. Time reveals.

Love,
DindaZein.

 
Template by suckmylolly.com - background image by elmer.0