Monday, September 19, 2011

Di Sini.

Ingin rasanya saya pergi ke pondok tua yang sepi dari hingar bingar kota dan duduk di depan perapian. Saya ingin melihat api yang bergejolak memakan kayu-kayu lapuk perlahan dan bunyi-bunyi mementas. Saya ingin merasa hangat karena di situ saya mungkin akan merasa hidup lagi.

Yang terpenting bukan itu. Saya mengundang Tuhan duduk di depan saya. Sekedar menyeruput secongkir teh atau kopi lalu berbual lagi. Berbual tentang hidup yang kian absurd.

Kalau bahagia diciptakaan untuk dirasa, mungkin sengsara tercipta untuk disyukuri.
Tapi sayang, bahagia akan terasa manis hanya saat sengsara itu yang kian menemani. Itu. Itu yang saya ingin tanya kepada Tuhan, tentang keabadian dan keadilan. Entah bahagia — dan untungnya sengsara pun jua, tidak ada yang abadi. Kalau memang itu bentuk dari keadilannya, saya lalu mau bertanya, kenapa lalu sengsara lebih menyiksa? Apa karena rasa sedih jauh lebih sengit dibanding rasa bahagia?

Sini Tuhan, jelaskan.
Saya hanya butuh sedikit pengertian dan penjelasan itu.
Karena saya tahu, Engkau mampu melakukan hal-hal mustahil.
Dan cukup untuk engkau tau bahwa mustahil bagi saya untuk membenciMu walau sungguh, hidup terus terasa pahit akhir-akhir ini.

Jelasakan Tuhan, lalu buktikan.

 
Template by suckmylolly.com - background image by elmer.0